Langsung ke konten utama

Titik Terendah di Dua Puluh


Assalamualaikum teman-teman, yuhuuu. . . aku nulis lagi setelah sekian lama tidak menyentuh blog aku ini. Sekarang aku mau bahas about my twenties, ya umur yang bagi aku ini adalah umur masa peralihan dari masa remaja ke masa dewasa, tapi umur 20 bukan kanak-kanak dan belum tentu dewasa juga sih, ya intinya umur gak menentukan kepribadian seseorang sih ya. Aku pernah baca bukunya Gitasav yang judulnya Rentang Kisah dan dia cerita kalo umur 20 itu adalah masa dimana hidup kita berubah drastis, kita akan ngalamin masalah yang lebih besar dari sebelumnya, kita dituntut harus dewasa untuk menghadapi masalah itu segakmampu apapun kita. Terdengar ngeri memang sih, tapi itu terjadi pada aku. Aku benar-benar mengalami dimana 20 tahunku adalah umur yang banyak menghabiskan air mata.
Tahun lalu 2018, aku berumur 20 tahun, aku lahir pada tahun 1998. Awalnya semua perubahan dalam hidupku terjadi saat ibu meninggal pada tanggal 6 Februari 2018, saat itu aku masih 19 tahun, belum genap 20 tahun. Memang aku tidak menjadikan semua masalahku di umur 20 tahun ini karena meninggalnya ibu, egois sekali aku kalau seperti itu. Hanya saja memang permulaannya saat ibu meninggal, memang alurnya sudah seperti itu Allah atur. Dulu, aku pikir hal yang paling berat adalah saat aku harus kehilangan ibu. Ternyata salah. Hal yang paling berat itu bukan pada saat ibu meninggalnya, tetapi pada saat setelah ibu meninggal, ibu sudah tidak bersama kami lagi dan semuanya berubah, duniaku seperti terbalik, aku harus berusaha melawan segala yang terbalik tersebut untuk kembali seperti semula. Ternyata tidak bisa, memang ini sudah jalan ceritaku.
Tak jarang terkadang sambil jalan pergi kuliah setiap pagi aku menangis sambil mengendarai motor, untung jarak rumah ke kampus ada sekitar 30 menit, kalau aku bawa motornya dengan lambat. Awal ibu meninggal saat masuk kuliah, di dalam kelas, saat dosen sedang mengajar aku juga sering melamun entah kemana, yang aku pikir hanya “nanti pulang kuliah gimana ya? Ibu udah gak ada, gak enak, rumah sepi”. Semua hal yang membuatku berusaha untuk tidak menangis di depan teman-temanku. Segala masalah yang kualami tidak akan aku jelaskan disini.
Terkadang aku juga sering mengeluh “Ya Allah hamba gak sanggup Ya Allah” tetapi ya gimana lagi, hidup tetap  berjalankan? Sesulit apapun aku harus melangkah, segaksanggup lagi aku untuk menangis terisak-isak menahan segala hal yang memberatkan dalam hidupku. Mungkin kalau orang bilang titik terendah dalam hidup, ya aku pikir ini adalah titik terendah dalam hidupku. Titik terendah dalam hidup bagiku adalah saat aku berada di suatu kondisi dimana masalahku banyak, dadaku sesak, aku tidak bisa melakukan apapun untuk keluar dari masalah itu, yang bisa aku lakukan hanyalah pasrah kepada Allah dan menangis sampai puas, walaupun pada akhirnya aku takkan pernah puas menangis. Berada di kondisi dimana setiap mau tidur aku selalu gelisah, aku takut, ntah kenapa, pokoknya perasaanku tidak tenang, ujung-ujungnya menangis lagi. Di kondisi ini juga aku cepat sekali bawa perasaan atas segala hal, rasanya pengen marah terus, rasanya pengen nangis aja kalau ada sesuatu yang menyentuhku sedikit.
Terkadang juga sempat terpikir olehku, akan terasa lega sedikit jika aku menceritakan masalahku kepada orang lain yang mengerti, tetapi kenyataannya tidak ada. Saat ini, aku hanya menceritakan segalanya kepada kedua kakakku yang ujung-ujungnya kami menangis sama-sama, karena yang kami rasakan ya sama.
Di depan teman-temanku aku berusaha untuk menampakkan perasaan bahagia, ceria, selalu ketawa. Padahal hatiku terlalu sepi. Mungkin memang aku berlebihan, seolah-olah hanya aku saja yang memiliki masalah terbesar dalam dunia ini. Tetapi, memang segitu porsiku, untuk ukuran aku, yang masih umur 19 tahun, aku yang anak bungsu-yang katanya anak manja, aku gak sanggup, kalau aku boleh jujur, aku gak sanggup. Hanya saja aku dituntut harus melewati semua permasalahanku.
Pernah suatu hari ada dosen yang bertanya “apa masa kritis dalam hidup kalian? Coba kalian ceritakan titik terendah hidup kalian?” dan temanku pun tunjuk tangan lalu menjawab “titik terendah dalam hidup saya, waktu saya sekolah saya tidak berani berbicara di depan orang banyak, sekarang saya melawan ketakutan saya dengan berani tampil di depan orang banyak”. Apaaa??? Si Ayu manusia yang sok punya masalah terbesar ini, saat itu langsung gemes gerem gak jelas. “Ya ampun, kamu bilang itu titik terendah kamu? Oke, mungkin kamu emang belum mengalami masa sulit yang sebenarnya.”
Di titik terendah itu, bahkan untuk memimpikan sesuatu pun aku sudah tak berniat lagi. Aku hanya berpikir apa yang sudah ditakdirkan untukku ya itulah yang harus aku terima. Bukannya aku malah menjadi orang yang pesimis, orang yang gak punya mimpi, orang yang gak berusaha. Gak sama sekali, aku tetap berusaha melakukan yang terbaik, tetapi untuk mengukir mimpi yang terlalu tinggi untuk saat ini, aku masih takut. Yang terpikir olehku hanya bagaimana caranya aku keluar dari masalah yang rumit ini dan sejenak aku bisa merasakan kebahagiaan dan ketenangan sampai aku tidak tau nikmatnya rasa sulit itu bagaimana.
Kalau tentang teman, bagiku saat ini aku belum menemukan teman yang benar-benar ada disaat aku susah, teman-temanku hanya mereka yang mau saling berbagi tawa saja. Aku tidak butuh mereka kasihani, aku hanya butuh perhatian dan pengertian mereka dengan kondisiku yang terlalu lelah dengan segala permasalahan yang ada. Aku sering kesal dengan teman yang tidak mengerti posisiku tapi menuntutku untuk mengerti posisinya. Pernah, aku menaruh kepercayaan pada seorang teman, aku terlalu berharap dengannya, aku pikir dia akan mengerti segala kesedihanku selama ini, dia akan mengerti segala kebaperanku selama ini, karena segala cerita hidupku sepertinya hampir sudah kuceritakan kepadanya, sudah tidak ada sensor lagi. Ternyata aku kembali dikecewakan oleh diriku sendiri, karena terlalu berharap pada manusia. Bahkan temanku itu yang menambah satu masalah lagi untukku, yang harapannya dia bisa memberikan pengertian dengan posisiku, tetapi malah dia yang menuntutku harus menjadi seperti yang dia ingin. Akhirnya aku mundur. Ada baiknya aku harus melepaskan segala sesuatu yang tidak bisa kupaksa untuk menetap. Waktu berubah, manusia berubah, semuanya berubah, kondisiku pun saat ini pasti akan berubah. Jadi sekarang aku hanya pasrah, menyerahkan segalanya kepada Allah, aku tau Allah lebih tau segalanya, aku sebagai manusia memiliki segala keterbatasan sedangkan Allah tidak. Aku yang hanya bisa bilang “aku bisa apa” tapi Allah yang bilang “kun fa ya kun, jadilah maka terjadi”
Assalamualaikum.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dulu, Aku Juga Menginginkan Itu

Assalamualaikum, teman-teman onlineku. Aku hadir kembali dengan tulisanku yang masih terus berproses. Di tulisan ini aku ingin membahas tentang cinta, namun lebih terkhusus lagi tentang bagaimana perasaanku terhadap lawan jenis. Di beberapa tulisanku sebelumnya aku pernah membahas tentang cinta. Aku bingung mulai dari mana hahaha. Alhamdulillah aku seorang gadis yang normal, yang diberikan anugerah untuk juga dapat merasakan bagaimana itu cinta, aku juga memiliki ketertarikan terhadap lawan jenis dan hal lainnya. Dulu sewaktu SD, aku polos sekali, aku pernah suka dengan teman kelasku sendiri, aku juga pernah suka dengan teman ngajiku hahaha, sekarang kalau aku membayangkan hal itu rasanya bodoh sekali aku, kenapa ya aku bisa suka sama mereka, yah namanya juga anak-anak baru puber. Abang letingku di SD juga pernah menyatakan perasaannya kepadaku, melalui teman perempuannya yang sudah pasti kakak lettingku, mereka berkata seperti ini “Dek, Si Aan (nama samaran) suka sama adek, mau g

Milikku memang Untukku

Assalamualaikum pembaca blogku Kali ini aku mau ceritain pengalaman aku tentang “TAKDIR”, tentang bagaimana Allah bisa seromantis itu sama aku, memberikan sesuatu ke aku dengan cara yang sama sekali gak pernah terlintas di pikiranku, yang buat aku terharu dan sangat merasa bersyukur. Sebelumnya, aku nulis ini sama sekali gak ada maksud untuk sombong, karena emang udah lama banget pengen nulis cerita ini, tapi karena banyak mikirnya, makanya gak jadi-jadi tulisannya. Mungkin yang aku dapat gak ada apa-apanya dibandingkan dengan orang lain yang luar biasa pencapaiannya, jadi ya apanya yang mau disombongin kan? Hehehe. Lanjut aja ke ceritanya, jadi aku akan ceritain tentang gimana aku bisa dapatin suatu beasiswa yang padahal “nyaris” gak dapat, qadarullah Alhamdulillah dapat juga hehehe. Dulu, waktu pertama kali aku pindah ke Banda Aceh, Alhamdulillah aku dapat beasiswa. Aku ingat banget, aku dipanggil ke ruang guru untuk dikasih uang beasiswanya, Alhamdulillah saat itu aku dap

Obat

  Ini adalah salah satu obat bagiku. Apa itu? Menulis. Menulis adalah kegiatan yang aku senangi sejak kecil. Menjelaskan segala perasaanku lewat kata-kata, yang awalnya berantakan, setidaknya sedikit menjadi rapi lewat tulisan dalam paragraf. Pikiranku sering berkecamuk sendiri, berantam, terlalu banyak hal tidak penting yang kupikirkan. Terlalu banyak ketakutan yang kubayangkan, aku menyerah, kini kuambil obatku lalu kukonsumsi ia. Saat menulis ini, aku tidak tau harus menulis apa, aku hanya ingin berkata-kata, di saat tidak ada seseorang yang bisa menjadi tempat untuk kusampaikan perasaanku. Aku menulis. Ke depannya, akan banyak cerita yang kusampaikan, aku ingin melawan segala ketakutanku yang tidak jelas. Aku ingin menjadi sesosok “Ayu” yang baru, Ayu yang berani, siap ya Yu.